Senin, 07 September 2009

RELASI NEGARA DAN AGAMA
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PANCASILA


Oleh : Kaelan


A. Pengantar

Nampaknya saat ini bangsa Indonesia semakin lupa bahwa bumi ini semakin tua, dan tak dapat dipungkiri bahwa bumi tempat hunian umat manusia adalah hanya satu. Namun telah menjadi sunnatullah, bahwa para penghuninya terdiri dari berbagai etnis, suku, ras, bahasa, profesi, kultur dan agama. Dengan demikian kemajemukan adalah suatu keniscayaan dan merupakan suatu fenomena yang tidak bisa dihindari. Keragaman terdapat di pelbagai ruang kehidupan, termasuk dalam kehidupan beragama. Pluralitas tidak hanya terjadi dalam suatu kelompok atau masyarakat, bahkan terjadi pada lingkup negara (Ghazali, 2009). Manusia adalah sebagai makhluk homo socious tetapi juga sebagai makhluk homo religious, manusia selain sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, juga sebagai maklhuk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa manusia tidak dapat mengelak dari sifat kodratnya sebagai warga masyarakat, bangsa dan negara. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara manusia menghadapi dua hak dan wajib, yaitu sebagai makhluk Tuhan diberikan berbagai kenikmatan dan hak, dan sebagai warga masyarakat negara memiliki hak namun juga harus memenuhi wajibya bagi orang lain. Hidup dalam suatu masyarakat negara itu tidaklah sendirian melainkan senantiasa bersama orang lain, kadang kesadaran yang demikian ini justru sulit dipahami oleh manusia modern dewasa ini.
Di era globalisasi dewasa ini telah banyak diramalkan oleh para cendekiawan dunia bahwa keberlangsungan dan eksistensi negara kebangsaan akan mendapat tantangan yang serius, sehingga jikalau segenap elemen kebangsaan tidak memberikan perhatian terhadap masalah tersebut, maka tidak menutup kemungkinan negara kebangsaan tersebut akan mengalami krisis kebangsaan atau bahkan dapat mengalami keruntuhan. Bangsa Indonesia yang hampir mencapai enam puluh empat tahun merdeka ini persoalan kenegaraan dan kebangsaan bukannya menatap kedepan mengatasi persoalan kesejahteraan dalam hidup bersama, malainkan terdistorsi ke kancah persoalan kebangsaan yang seharusnya sudah kita hayati bersama. Sebagai contoh adalah persoalan kehidupan keagamaan di negara Indonesia yang pluralis ini yang bersendi ke-Tuhanan Yang Maha Esa, akhir-akhir ini dalam kenyataannya semakin menunjukkan kekurang dewasaan sebagian masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya kasus Ambon, kasus Poso, kasus Sampit, kasus Achmadiyah, kasus Monas, dan kasus lainnya. Derivasi nilai ketuhanan dalam kehidupan kebangsaan dewasa ini semakin menunjukkan kerancuan derivatif, artinya penjabaran secara ‘das sein’ di dalam masyarakat secara objektif menimbulkan kesimpangsiuran, dan nampak dalam derivasi normatif yuridis belum menunjukkan esensi negara yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pada kancah politik misalnya sering disebut secara dikotomis dalam kehidupan politik kita disebutkan adanya partai sekuler yang berabsis nasionalis dan partai agama yang berbasis agama (Islam). Dalam kenyataannya partai nasionalis adalah religius, dan partai yang berdasarkan agamapun juga nasionalis.

Tantangan dalam proses globalisasi yang begitu cepat dan berpengaruh secara signifikan terhadap semua manusia di berbagai negara termasuk bangsa Indonesia. Ulrich Beck (1998) mengungkapkan bahwa globalisasi akan berpengaruh terhadap relasi-relasi antar negara dan bangsa di dunia, yang akan mengalami ‘deteritorialisasi’. Konsekuensinya kejadian-kejadian di berbagai belahan dunia ini akan berepengaruh secara cepat terhadap negara lain. Prinsip kebebasan dalam sistem negara demokrasi sekuler berpengaruh secara cepat terhadap negara lan di dunia, termasuk negara Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Kasus Yeland Fosten tentang karikatur Nabi Muhammad menimbulkan suatu benturan peradaban antara sistem kebebasan versi sekuler dan negara Berketuhanan Yang Maha Esa.

Sementara itu Anthony Giddens (2000) menamai proses globalisasi sebagai ‘the runaway world’. Menurutnya perubahan-perubahan di berbagai bidang terutama perubahan sosial di suatu negara akan berpengaruh secara cepat terhadap negara lain. Sementara itu Robertson (1990), mengingatkan bahwa globalisasi merupakan ‘compression of the world’ yaitu menciutnya dunia dan menurut Harvey sebagai proses menciutnya ruang dan waktu ‘time-space compression’, karena intensivikasi dan mobilitas manusia serta teknologi. Dalam kondisi seperti ini terjadilah pergeseran dalam kehidupan kebangsaan (Rosenau, 1990), yaitu pergeseran negara yang berpusat pada negara kebangsaan (state centric world) kepada dunia yang berpusat majemuk (multy centric world) (Hall, 1990), (Sastrapratedja, 1996). Kiranya sinyalemen yang layak kita perhatikan adalah pandangan Kenichi Ohmae (1995) bahwa globalisasi akan membawa kehancuran negara-negara kebangsaan. Pengaruh globalisasi yang sangat cepat ini sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia.

Bahkan A.M. Hendropriyono dalam karyanya Nation State di Masa Teror (2007), bahwa di era globalisasi ini negara-negara yang sedang mengembangkan proses demokratisasi akan mendapatkan tantangan yang sangat hebat, terutama ancaman terorisme yang menyalahgunakan kesucian agama. Nampaknya sinyalemen A.M. Hendropriyono ini diperkuat oleh pandangan Bahmueller bahwa dalam proses demokratisasi harus diperhatikan (1) the degree of economic development, (2) a sense of national identity, (3) historical experience and (4) element of civic culture. Jadi pengembangan demokrasi harus diperhatikan tentang bagaimana kondisi ekonomi dalam suatu negara, dasar filsafat negara sebagai suatu identitas nasional suatu bangsa, bagaimana proses sejarah terbentuknya bangsa itu beserta unsur-unsurnya (Winataputra, 2005).
Konstatasi yang layak diperhatikan adalah sinyalemen dari Naisbitt, bahwa di era globalisasi tersebut akan muncul suatu kondisi paradoks, di mana kondisi global diwarnai dengan sikap dan cara berpikir primordial, bahkan akan muncul suatu gerakan ‘Tribalisme’ yaitu suatu gerakan di era global yang berpangkal pada pandangan primordial yaitu fanatisme etnis, ras, suku, agama, maupun golongan (Naisbit, 1994). Bahkan Hantington dalam The Clash of Civilization menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan akan terjadinjya suatu benturan peradaban (Hantington, 1993), yang tidak menutup kemungikinan juga berakibat pada adanya konflik horizontal. Bahkan ditambahkan oleh A.M. Hendropriyono (2009), bahwa pada panggung politik dunia benturan peradaban itu mencapai klimaksnya antara dua peradaban besar yaitu fundamentalisme politik Islam dengan kekuasaan kapitalisme neoliberal dengan kekuasaan kerasnya (hard power) di bawah komando Amerika serikat. Kita sadari atau tidak bahwa isu global tentang radikalisme agama dalam negara akan berpengaruh terhadap negara Indonesia, terutama dalam hubungan negara dengan agama. Bahkan adakalanya persoalan itu ditarik dengan memutar jarum jam ke belakang, yaitu persoalan muncul kembali pada kemelut tarik-menarik antara Negara agama dan Negara sekuler, sebagaimana dibahas oleh para founding fathers kita dahulu. Pada hal kita lupa bahwa suatu kesepakatan filosofis dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan itu sangat penting bagi bangsa Indonesia.

Negara modern yang melakukan pembaharuan dalam menegakkan demokrasi niscaya mengembangkan prinsip konstitusionalisme. Menurut Friederich, negara modern yang melakukan proses pembaharuan demokrasi, prinsip konstitusionalisme adalah yang sangat efektif, terutama dalam rangka mengatur dan membatasi pemerintahan negara melalui undang-undang. Basis pokok adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat, mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara (Assiddiqie, 2005: 25). Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Dalam hubungan ini sekali lagi kata kuncinya adalah consensus atau general agreement.

Bagi bangsa Indonesia consensus itu terjadi tatkala disepakatinya Piagam Jakarta (Endang S. Anshori). Jika kesepakatan itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya akan terjadi suatu perang sipil (civil war), atau dapat juga suatu revolusi. Hal ini misalnya pernah terjadi pada tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi Perancis tahun 1789, di Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, (Andrews, 1968: 12), adapun di Indonesia terjadi pada tahun 1965 dan 1998 yaitu gerakan reformasi (Assiddiqie, 2005: 25).

Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme negara modern pada proses reformasi untuk mewujudkan demokrasi, pada umumnya bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu: (1) Kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama (the general goal of society or general acceptance of the same philosophy of government). (2) Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaaan negara (the basis of government). (3)Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). (Andrews, 1968: 12).

Kesepakatan pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya memungkinkan untuk mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup ditengah-tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, dalam kesepakatan untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai filsafat kenegaraan atau staatsidee (cita negara), yang berfungsi sebagai filosofischegrondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara (Assiddiqie, 2005: 26).

Bagi bangsa dan negara Indonesia, dasar filsafat dalam kehidupan bersama itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai core philosophy negara Indonesia, sehingga konsekuensinya merupakan esensi staatsfundamentalnorm bagi reformasi konstitusionalisme. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam filsafat negara tersebut, sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan cita-cita negara, baik dalam arti tujuan prinsip konstitusionalisme sebagai suatu negara hukum formal, maupun empat cita-cita kenegaraan yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu: (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan (meningkatkan) kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kesepakatan kedua, adalah suatu kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan kedua ini juga bersifat dasariah, karena menyangkut dasar-dasar dalam kehidupan penyelenggaraan negara. Hal ini akan memberikan landasan bahwa dalam segala hal yang dilakukan dalam penyelengaraan negara, haruslah didasarkan pada prinsip rule of the game, yang ditentukan secara bersama. Istilah yang biasa digunakan untuk prinsip ini adalah the rule of law (Dicey, 1971). Dalam hubungan ini hukum dipandang sebagai suatu kesatuan yang sistematis, yang di puncaknya terdapat suatu pengertian mengenai hukum dasar, baik dalam arti naskah tertulis atau Undang-Undang Dasar, maupun tidak tertulis atau convensi. Dalam pengertian inilah maka dikenal istilah constitutional state yang merupakan salah satu ciri negara demokrasi modern (Muhtaj, 2005: 24).

Kesepakatan ketiga, adalah berkenaan dengan (1) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (2) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (3) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan itulah maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Oleh karena itu bagi negara Indonesia akhir-akhir ini muncul usulan untuk melakukan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang kelima, pada hal hasil amademen tersebut baru diimplementasikan kurang dari empat tahun.

Jikalau kita kaji ulang proses reformasi dewasa ini bangsa Indonesia telah melakukan reformasi dalam bidang politik dan hukum, sebagai upaya untuk mewujudkan suatu negara demokrasi modern. Namun satu hal yang menjadi pertanyaan kita adalah prinsip yang merupakan basic philosophy bangsa dan negara Indonesia, tidak diletakkan sebagai basic philosophy dari proses reformasi. Bahkan ironisnya justru pada era reformasi ini eksistensi dasar filsafat negara Pancasila sebagai basic philosophy negara konstitusionalisme Indonesia, sengaja ditenggelamkan yang hanya diakui sebatas rumusan verbal dalam Pembukaan UUD 1945 saja. Misalnya sebagai contoh dirumuskannya reformasi pendidikan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, menunjukkan adanya kesengajaan untuk meletakkan Pancasila hanya sekedar sebagai peninggalan sejarah bangsa, tanpa melakukan aktualisasi dan derivasi dalam bidang keidupan kenegaraan dan kebangsaan.

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menemukan suatu formulasi yang khas tentang hubungan negara dan agama, di tengah-tengah tipe negara yang ada di dunia, yaitu negara sekuler, negara ateis dan negara teokrasi. Para pendiri negara bangsa ini menyadari bahwa ‘kausa materialis’ negara Indonesia adalah pada bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu adalah bangsa yang religius, yang mengakui adanya ‘Dhzat Yang Maha Kuasa’, yaitu Tuhan, dan hal ini merupakan suatu dasar ontologis bahwa manusia sebagai warga negara adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Tatkala sidang pertama BPUPKI Dr. Radjiman Widiyodiningrat mengutarakan kepada peserta sidang, bahwa dasar apa yang akan digunakan sebagai dasar filsafat negara Indonesia merdeka. Kemudian terjadilah diskusi dan pembahasan yang cukup intensif dan panjang, kemudian setelah BPUPKI mengadakan rapat pada bulan Juni 1945 memang belum didapatkan suatu kesepakatan yang bulat tentang dasar negara Indonesia. Kemudian dibentuklah panitia kecil yang berjumlah sembilan orang yaitu : (1) Ir. Soekarno, (2) Drs. Moh. Hatta, (3) H. A. Salim, (4) Mr. A.A. Maramis, (5) Mr. Muh. Yamin, (6) K.H.A. Wahid Hasyim, (7) Mr. A. Subardjo, (8) R. Abikoesno, (9) A. Kahar Muzakkir. Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan itu setelah mengadakan pertemuan pada jam 20.00 dan diperoleh suatu kesepakatan dasar negara yang sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Piagam Jakarta inilah yang disebut oleh Yamin sebagai Jakarta Charter, yang merupakan kesepkatan luhur bangsa Indonesia dalam mendirikan negara.

Pada permulaan sidang PPKI 18 Agustus 1945, Moh. Hatta mengadakan pertemuan dengan peserta siang terutama dari golongan Islam, menyampaikan pesan dari saudara-saudara Indonesia timur terutama yang berkaitan dengan rumusan sila pertama yang tercantum dalam Piagam Jakarta tersebut. Setelah dilakukan pembahasan kemudian disepakatilah sila pertama Pancasila menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun terjadi perdebatan yang panjang dalam Sidang Konstituante terutama pada tanggal 11 November hingga 6 Desember 1957, yang membahas tentang dasar negara semua kelompok yaitu kelompok yang menghendaki negara berdasarkan Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi (Erwin Kusuma, 2008), tidak ada yang menolak bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Negara Berketuhanan Yang Maha Esa adalah merupakan ‘local wisdom’ bangsa Indonesia dalam mendirikan negara.

Jikalau dilakukan analisis secara hermeneutis, maka proses perumusan dasar filsafat negara yang menemukan core values ’Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai basis nilai filosofis hubungan negara dan agama di Indonesia, merupakan suatu ‘local genius’ bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Kesepakatan tentang filosofi hubungan negara dengan agama tersebut merupakan suatu kesepakatan yang luhur, yang meletakkan landasan etis bagi kehdupan bangsa dan negara, sekaligus sebagai suatu pemikiran yang kreatif tentang bentuk hubungan negara dan agama di tengah-tengah paham sekuler dan teokrasi.

Roeslan Abdoelgani dalam sidang Konstituante menegaskan bahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan filsafat kenegaraan mengandung arti bahwa dalam suatu negara kedaulatan adalam berasal dari Tuhan. Dalam menjalankan kedaulatan Tuhan di dunia pada masa abad pertengahan Sri Paus dibantu oleh sistem kepadrian. Gereja Katolik dengan sistem kepadriannya merupakan suatu faktor progresif bagi timbulnya negara-negara yang lebih luas dan teratur. Dalam kesatuan-kesatuan negara baru itu, banyak raja dinobatkan oleh Gereja, sehingga dengan demikian memberikan kepada monarkhi-monarkhi tersebut suatu goddelijkheid, yaitu gereja memiliki kekuasaan-kekuasaan kontrol dan kemudian kekuasaan pelaksanaan yang pada mulanya bersifat supranational. Jadi mulailah timbul pemusatan kekuasaan keduniawian di dalam satu tangan, yaitu di bawah Gereja Romawi (Abdoelgani, dalam Kusuma, 2008).

Pada tahun 1517 Martin Luther dan John Calvin menempelkan 95 pernyataan bersejarah di pintu altar gereja, yang intinya menuntut kepada gereja untuk memisahkan kekuasaan gereja atas ranah keduniawian. Peristiwa bersejarah itulah yang dikenal dengan terjadinya suatu reformasi, yang kemudian menghasilkan suatu paham yang dikenal dengan ’sekulerisme’ (Schmandt, 2002: 231). Kemudian bermunculanlah paham sekulerisme yang pada awalnya memisahkan soal-soal keagamaan atau soal-soal keakheratan dengan kekuasaan kerajaan atau negara, sedangkan soal-soal keagamaan dan keakheratan dikembalikan kepad gereja (Abdoelgani, 2008: 41). Kemal A. Faruki dalam Islamic Constitution (1952), menjelang perdebatan konstitusi Pakistan, menjelaskan bahwa pengertian sekulerisme mengandung dua arti: (1) to be concerned with wordly problems, yaitu menyangkut soal-soal keduniawian, dan (2) to separate spiritual from temporal affairs, with temporal superior, yaitu memisahkan soal-soal spiritual dari keduniawian dan bahkan mendahulukan keduniawian.

Berdasarkan konstatasi tersebut maka pemikiran filosofis tentang hubungan negara dengan agama yang tertuang dalam dasar filsafat negara Pancasila, yang sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah merupakan pemikiran inovatif para pendiri bangsa ini. Dalam hubungan ini pendiri Republik ini mampu meletakkan konteks hubungan negara dan agama di tengah-tengah model negara sekuler, teokrasi dan ateis, berdasarkan local wisdom bangsa Indonesia sebagai kausa materialis. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam filsafat Pancasila adalah merupakan suatu nilai bahkan esensi nilai (core values), bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Oleh karena itu persoalan yang cukup penting berikutnya adalah bagaimana derivasi nilai-nilai tersebut pada tataran normatif, aktual dan praksis serta aktualisasinya dalam era global dewasa ini yang penuh dengan tantangan.

Pancasila yang di dalamnya terkandung dasar filsafat hubungan negara dengan agama, adalah merupakan karya besar bangsa Indonesia melalui “The Founding Fathers” Negara Republik Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri negara yang tertuang dalam Pancasila, merupakan karya yang khas yang secara antropologis merupakan “local genius” bangsa Indonesia (Ayatrohaedi, 1986). Pemikiran tentang kenegaraan dan kebangsaan yang dikembangkan oleh para pendiri Republik ini merupakan suatu hasil proses pemikiran “eklektis inkorporasi”, menurut istilah Notonagoro. Oleh karena itu karya besar bangsa ini setingkat dengan pemikiran besar dunia lainnya seperti, liberalisme, sosialisme, komunisme, pragmatisme, sekulerisme serta paham besar lainnya. Dalam hubungan ini kita menyadari, bahwa tanpa adanya tanggungjawab moral seluruh unsur bangsa Indonesia untuk memiliki karya besar tersebut, maka bukannya tidak mungkin akan punah di era global dewasa ini. Toynbee dalam A Study of History memperingatkan kepada kita bahwa suatu karya besar budaya dari suatu bangsa dalam proses perubahan akan berkembang dengan baik manakala ada suatu keseimbangan antara challenge dan response (Toynbee, 1984). Kalau Challenge kebudayaan itu tidak akan berkembang dengan baik (Soeryanto, 1986). terlalu besar sedangkan response kecil, maka akibatnya kebudayaan itu akan terdesak dan punah. Sebaliknya jikalau challenge terlalu kecil sedangkan response besar, maka akan terjadi suatu akulturasi yang tidak dinamis.

Namun demikian suatu hal yang sangat ironis, bahwa dalam era yang seperti ini bangsa Indonesia bukannya merapatkan solidaritas kebangsaan untuk meningkatkan respons terhadap globalisasi, melangkah bersama menangani kemiskinan, dan memajukan kesejahteraan rakyat banyak, melainkan justru memutar kembali ke belakang arah ‘jarum jam’, sejarah kebangsaan Indonesia yang berdasarkan filsafat Pancasila. Banyak elemen kebangsaan Indonesia dewasa ini baik secara langsung maupun tidak langsung, memunculkan sentimen primordial yang sering dirumuskan dalam suatu wacana ‘Nasionalis Islami’ dan ‘Nasionalis Sekuler’. Terdapat dua masalah pokok dalam hubungan negara dan agama terutama Islam, yang muncul sebagai suatu ungkapan yang harus dijernihkan. Pertama, kekhawatiran sementara pihak atas munculnya kembali asas syari’at Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga seakan-akan hal ini merupakan upaya untuk mengembalikan negara Indonesia ke dasar negara sebagaimana termuat dalam Piagam Jakarta. Jikalau dipahami secara lurus bahwa sebenarnya tidak ada seorang muslim-pun menolak, bila-mana kehidupan ini berdasarkan pada syari’at yang sesuai dengan agamanya yaitu ‘Islam’. Kedua, namun sayangnya justru yang dikembangkan bukannya aspek praksisnya, melainkan ‘Bi al-lisan’nya, yaitu diramaikan melalui wacana sehingga menimbulkan gejolak yang dapat mengarah pada disintegrasi bangsa. Banyak orang mempersoalkan syariat Islam dalam kehidupan kenegaraan, yang dalam hal ini dikawatirkan akan kembali pada Piagam Jakarta, atau bahkan negara Islam. Sementara itu bagi kalangan elemen kebangsaan Islam, seharusnya hal yang terpenting adalah memperjuangkan nilai-nilai syariat Islam dalam kehi-dupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan melalui tatanan demokrasi yang ada di Indonesia. Oleh karena itu agar lebih memperjelas persoalan tersebut di atas maka penting kiranya dipahami akar sejarah, perkembangan Islam dan Pancasila.

Bilamana dipetakan maka persoalan yang menyangkut hubungan agama (khususnya Islam) dengan Pancasila di negara Republik Indonesia ini dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap.

Pertama, terjadi ketika kaum ‘Nasionalis’ mengajukan Pancasila sebagai dasar filsafat negara menjelang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Sebagaimana para pendiri negara-negara lain, para pendiri Republik ini menyadari betapa pentingnya dasar filsafat dan ideologi dalam suatu negara. Oleh karena itu tatkala menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945, para tokoh pendiri negara dari kelompok Nasionalis Islam dan Nasionalis, terlibat perdebatan tentang dasar filsafat dan ideologi negara Indonesia yang akan didirikan kemudian. The Founding Fathers kita menyadari betapa sulitnya merumuskan dasar filsafat negara Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam etnis, ras, agama serta golongan politik yang ada di Indonesia ini. Perdebatan tentang dasar filsafat negara dimulai tatkala Sidang BPUPKI pertama, yang pada saat itu tampillah tiga pembicara, yaitu Yamin pada tanggal 29 Mei 1945, Soepomo pada tanggal 31 Mei, dan Soekarno pada tanggal 1 Juni, tahun 1945 (Yamin, 1959). Berdasarkan pidato dari ketiga tokoh pendiri negara tersebut, persoalan dasar filsafat negara (Pancasila) menjadi pusat perdebatan antara golongan Nasionalis dan Golongan Islam. Pada awalnya golongan Islam menghendaki negara berdasarkan Syari’at Islam, namun golongan nasionalis tidak setuju dengan usulan tersebut. Kemudian terjadilah suatu kese-pakatan dengan ditandatanganinya Piagam Jakarta yang dimaksudkan sebagai rancangan Pembukaan UUD Negara Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945 (Yamin, 1959).

Dalam membahas hubungan antara Negara dengan Agama Islam tersebut kiranya layak dipertimbangkan berbagai pemikiran dari kalangan intelektual Islam. Teori-teori yang dikembangkan oleh kalangan intelektual Islam modern mengenai hubungan antara agama dengan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga teori utama. Pemikiran pertama, menyatakan bahwa antara agama dan negara tidak harus dipisahkan, karena Islam sebagai agama yang integral dan komprehensif mengatur baik kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrawi. Menurut pandangan ini, tidak ada aspek dari aktivitas keseharian umat Islam termasuk dalam pengelolaan negara dapat dipisahkan dari agama. Oleh karena itu, konstitusi negara secara resmi harus didasarkan pada syariat Islam. Teori ini antara lain dikemukakan oleh antara lain Abdul A’la Maududi (1903-1979) (Khurshid, 1990), Sayyid Quth (1906-1966) dan para ideolog lain dari Ikhwan al-Muslimin. Baik Jamaat-Islami maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan fundamentalis. Saudi Arabia, Iran dan Pakistan dapat dilihat sebagai contoh dari negara Islam dalam tipe ini. Mereka mengembangkan ideologi bahwa kesatuan negara dan agama dimanifestasikan dalam qhitoh politiknya bahwa Islam adalah ‘al-din wa al-daulah’ (agama dan negara).

Pemikiran kedua, negara dan agama harus dipisahkan, dan dalam hal ini agama terbatas pada urusan-urusan pribadi. Dalam hubungan negara harus tidak ada campur tangan agama dalam urusan-urusan politik. Konstitusi negara tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai-nilai sekuler. Contoh dari teori ini adalah pada negara Turki Modern di bawah Kemal Attaturk (Berkes, 1964).

Pemikiran ketiga, menghendaki pemisahan resmi antara negara dan agama, sehingga negara tidak didasarkan atas Islam namun negara tetap memberikan perhatian terhadap atau mengurusi persoalan-persoalan agama. Dengan kata lain, negara terlibat dalam masalah-masalah agama yang ada dalam wilayahnya. Ketiga kemungkinan hubungan agama dengan negara tersebut nampaknya dapat memberikan gambaran atas pilihan-pilihan yang dapat menentukan semua karakteristik struktur sosial dan politik dari negara Muslim dan bagaimana negara harus dijalankan dalam menghadapi tuntutan dan tantangan modernitas. Dalam hubungan ini Ali Abdul al-Raziq (1888-1966), menegaskan bahwa khalifah pada hakikatnya bukan rezim agama, namun rezim keduniaan tanpa landasan agama. Raziq berpendapat bahwa meskipun mempunyai klaim terhadap kekuasaan, para khalifah tidak mungkin menggantikan Nabi, karena menurutnya, Nabi tidak pernah menjadi seorang raja dan tidak pernah berupaya membangun pemerintahan atau negara. Beliau adalah sebagai utusan Tuhan dan tidak pernah menjadi pemimpin politik (Imarah, 1988). Menurut Raziq bahwa Islam tidak menentukan suatu rezim tertentu dan tidak memaksakan umat Islam untuk mengikuti sistem tertentu dari pemerintahan yang ada, tetapi Islam memberikan kebebasan penuh untuk mengatur negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi di mana kita berada dengan mempertimbangkan pembangunan sosial kita dan kebutuhan zaman (Imarah, 1988).

Nampaknya formulasi hubungan negara dengan agama Islam dalam proses pendirian negara Indonesia memang tidak secara historis dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran teori-teori tersebut. Dalam perkembangan berikutnya ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945, yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, atas nama selu-ruh bangsa Indonesia, kemudian PPKI (Panitia Persiapan Kemrdekaan Indone-sia) yang diketuai oleh Soekarno dan Hatta sebagai wakil ketuanya memulai tugas-tugasnya. Menjelang pembukaan sidang resmi pertamanya pada tanggal 18 Agustus 1945, Hatta mengusulkan pengubahan rancangan Pembukaan UUD dan isinya, dan hal ini dilakukan oleh karena menerima keberatan dari kalangan rakyat Indonesia timur, tentang rumusan kalimat dalam Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya”. Pada pertemuan bersejarah tersebut, kemudian disetujui dengan melaui suatu kesepakatan yang luhur menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Kedua, Respon umat Islam terhadap Pancasila tatkala pada tahun 1978 pemerintah Orde Baru mengajukan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) untuk disahkan. Dalam hubungan ini pada awalnya banyak tokoh-tokoh Islam merasa keberatan, namun kemudian menerimanya.

Ketiga, ketika pada tahun 1982 pemerintah mengajukan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi politik dan kemasyarakatan di Indonesia. Kebijaksanaan ini banyak mendapatkan tantangan dari umat Islam, bahkan terdapat beberapa ormas yang dibekukan karena menolak asas tersebut.

Berdasarkan perkembangan respons umat Islam atas Pancasila sebagai dasar Filsafat negara, yang diaktualisasikan oleh pemerintah saat itu, maka muncullah berbagai sikap dan penilaian terhadap Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan negara Indonesia, yang hasilnya menimbulkan keran-cuan pemahaman tentang Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia.

B. Kekacauan Epistemologis dalam Memahami Pancasila

Berdasarkan pengalaman sejarah negara Indonesia dalam rangka meng-implementasikan Pancasila dalam hubungannya dengan kehidupan keagamaan, maka muncullah respons-respons negatif terhadap Pancasila, khususnya dalam hubungan negara dengan agama, terutama dari kalangan politik Islam. Dalam era reformasi dewasa ini setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru, muncullah berbagai argumen politis yang berkaitan dengan pemahaman atas Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Argumentasi tersebut ada yang memang berpangkal dari suatu ketidaktahuan, namun juga tidak jarang sebagai ungkapan yang sifatnya sinis, sindiran atau bahkan ejekan. Apapun alasan yang dikemukakan tidak didasarkan pada suatu realitas objektif, tetapi yang jelas ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan adanya suatu kekacauan pengetahuan (epistemology mistake) akan Pancasila dan kekerdilan pemikiran anak bangsa tentang filosofi dan kepribadiannya sendiri.

Kekacauan pertama yang sering ditemukan adalah menyamakan antara nilai, norma dan praksis (fakta) dalam memahami Pancasila. Pancasila adalah merupakan suatu sistem nilai yang merupakan suatu kesatuan yang utuh (Notonagoro, 1975: 52). Hal itu merupakan suatu sistem filsafat dan terdapat dalam realitas objektif bangsa Indonesia. Oleh karena itu bangsa Indonesia adalah sebagai (causa materialis) Pancasila. Kemudian The Founding Fathers kita pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan bahwa Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara, sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia dan tercan-tum dalam tertib hukum Indonesia. Konsekuensinya Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, dan dalam pengertian inilah maka menurut Notonagoro Pembukaan yang memuat Pancasila itu sebagai Staatsfundamental norm. Konse-kuensinya nilai-nilai pancasila, secara yuridis harus diderivasikan ke dalam UUD negara Indonesia dan selanjutnya pada seluruh peraturan perun-dangan lainnya. Dalam kedudukan seperti ini Pancasila telah memiliki legitimasi filosofis, yuridis dan politis. Dalam kapasitas ini Pancasila telah diderivasikan dalam suatu norma-norma dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.

Berdasarkan norma-norma peraturan perundang-undangan tersebut dapat diimplementasikan realisasi kehidupan kenegaraan yang bersifat praksis. Oleh karena itu tidak mungkin implementasi dilakukan secara langsung dari Pancasila kemudian direalisasikan dalam berbagai konteks kehidupan, karena harus melalui penjabaran dalam suatu norma yang jelas. Banyak kalangan memandang hal tersebut secara rancu seakan-akan memandang Pancasila itu secara langsung bersifat operasional dan praksis dalam berbagai konteks kehi-dupan masyarakat.

Kekacauan epistemologis yang kedua adalah pada konteks politik, yang menyamakan nilai-nilai Pancasila dengan suatu kekuasaan, rezim atau suatu orde. Hal ini dapat ditangkap dalam konteks politik bahwa berbicara Pancasila seakan-akan sebagai label Orde Baru, identik dengan kekuasaan Soeharto, dan celakanya seakan-akan terjadi suatu indoktrinasi. Fakta sejarah menunjukkan kepada kita bahwa tatkala Orde Baru berkuasa Pancasila diturunkan derajatnya sebagai suatu legitimasi politis. Semua kebijakan pemerintah mengatasnamakan Pancasila, bahkan diistilahkan sebagai “suatu pelaksanaan Pancasila yang murni dan konsekuen”. Kemudian setelah bangsa Indonesia melakukan reformasi dan menimpakan kesalahan itu semua kepada penguasa Orde Baru, maka serta merta dalam dunia politik berbicara Pancasila seakan-akan identik dengan ingin mengembalikan kewibawaan Orde Baru. Jikalau kita mengkaji sejarah secara objektif, sebenarnya pada zaman Orde Lama-pun juga terjadi penyimpangan dengan mengembangkan Nasakom, Manipol Usdek, Tri Sila dan Eka Sila. Oleh karena itu hal ini secara epistemologis harus diluruskan Pancasila sebagai dasar filsafat negara, sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia harus dibedakan de-ngan kekuasaan suatu rezim atau orde yang justru menyalahgunakan Pancasila. Akibatnya dewasa ini banyak kalangan bahkan kalangan elit politik sendiri enggan untuk berbicara Pancasila, karena tidak akan membawa popularitas politis bahkan dapat dituduh sebagai Neo Orde Baru.

Bahkan kekacauan epistemologis yang sangat fatal adalah memahami dan meletakkan Pancasila sebagai suatu varian yang setingkat dengan agama, atau dengan lain perkataan suatu kesesatan kategori (category mistake) menurut istilah Ryle (1983). Dalam diskursus hubungan agama dengan negara, kalangan politik yang mendasarkan pada pemikiran negara agama, memandang Pancasila sebagai suatu penghalang bahkan mengancam agama. Sebagai suatu contoh dalam buku Reformasi Prematur, menganggap bahwa Pancasila sebagai penghalang agama bahkan menga-jarkan kemusyrikan, sebagaimana menyembah berhala. Dalam buku tersebut diungkapkan sebagai berikut:

Begitu pentingnya memantapkan kesakralan serta karakter Pancasila, maka Pancasila-pun mengisyaratkan bahwa kesadaran akan Tuhan itupun bukan milik siapapun secara khusus. Tuhan menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tak terbagi, yang mampu melingkupi Kristen, Islam, Budha, Hindu dan bahkan juga Animisme (Chaidar, 1998: 36).
Pada ungkapan lain penulis mengemukakan bahwa Pancasila telah menjadi berhala, yang diungkapkan sebagai berikut:
Pancasila telah menjadi berhala yang dipertuhankan oleh seluruh rakyat Indonesia. Semua dosa penyembahan berhala ini harus ditanggung secara personal oleh Soeharto, Soekarno dan semua pengikut sadarnya atau antek-anteknya (Chaedar, 1998: 37).
Selain itu diungkapkan oleh Thalib dan Anwas, dalam Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila: Manguak Tabir Pemikiran Politik Founding Fathers Republik Indonesia (1999: xxxiii), sebagai berikut:
Soekarno telah berhasil memadukan aspirasi para pemimpin Islam pada masa pendirian negara yang menginginkan negara berdasarkan Islam, dengan cara memasukkan Ketuhanan sebagai salah satu silanya. Ketuhanan model Pancasila ini, kombinasi dari banyak Tuhan dan bermacam-macam kepercayaan yang bernaung di bawah Pancasila. Dalam ide konsepsi ini agaknya ingin berdiri sebagai wakil kepercayaan seluruh umat beragama di negeri ini. Dan dalam perkembangan berikutnya, penguasa ingin mencari kepastian hukum atas keinginan tersebut, yang pada gilirannya, melahirkan doktrin asas tunggal dengan tujuan pokok adalah: “Mempancasilakan umat beragama”. Menurut Abdullah Patani dalam bukunya ‘Freemasonry di Asia Tenggara’ bahwa terdapat kesamaan antara sila-sila Pancasila dengan Khams Qanun Zionis, begitu pula dengan San Min Chui Dr. Sun Yat Sen di China, Pridi Banoyong di Thailand, dan Andres Bonivasio di Filipina. Oleh karena itu terdapat kemungkinan bahwa ideologi Pancasila adalah diilhami oleh ideologi Zionisme dan Freemasonry (Thalib dan S. Awwas, 1999: 185).
Kekacauan epistemologis seperti ini akan membawa konsekuensi yang serius terghadap proses revitalisasi, reaktualisasi serta implementasi nilai-nilai Pancasila. Pancasila adalah hasil pemikiran bangsa Indonesia yang besar yang setingkat dengan pemikiran-pemikiran besar lainnya seperti, sosialisme, liberalisme, sekulerisme, pragmatisme dan isme-isme lainnya. Oleh karena itu Pancasila adalah merupakan suatu budaya dan bukannya agama. Dalam filsafat Pancasila tidak pernah membahas tentang Tuhan, meskipun sila pertama adalah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, sebab The Founding Fathers kita adalah orang biasa dan bukannya seorang Nabi. Tatkala meletakkan dasar-dasar pemikirannya para pendiri negara kita menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, oleh karena itu negara Indonesia tidak mungkin didirikan dengan sistem atheisme, sekulerisme atau liberalisme. Oleh karena bangsa Indonesia memiliki kebebasan dalam memeluk agama dan negara tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai agama, maka para pendiri negara menentukan dan memilih pemikiran “ Negara adalah Berketuhanan Yang maha Esa”. Jadi oleh karena itu sangatlah naif dan menyesatkan jikalau Pancasila itu mengajarkan Ketuhanan, dan jikalau hal itu dipublikasikan dan dibaca serta dipahami oleh masyarakat maka hal itu tidak lebih telah menyebarkan fitnah.
Jikalau hal ini berlangsung terus maka kita justru akan melakukan kesalahan sebagaimana yang dilakukan oleh orde-orde sebelumnya. Apapun yang terjadi pada bangsa dan negara Indonesia, maka nilai-nilai Pancasila secara objektif ada pada bangsa Indonesia. Selama kita masih mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang berketuhanan (bangsa yang religius) dalam kehidupan kenegaraan, bangsa yang berkamnusiaan, berpersatuan, berkerakyatan (demokrasi), serta bangsa yang berkeadilan sosial, maka secara objektif kita bernegara dengan dasar filsafat Pancasila.

C. Hakikat sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia. Sebagaimana dikembangkan melalui pemikiran yang dinamis oleh para pendiri negara kita, bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan, demokrasi yang religius, humanis dan berkeadilan sosial. Nampaknya ide eklektis yang dikembangkan oleh pendiri negara kita merupakan suatu pemikiran yang khas. Hal ini jikalau kita bandingkan negara Indonesia dengan konsep negara liberal, negara sosialis klas, negara sekuler, ataupun negara teokrasi. Pancasila pada hakikatnya meru-pakan suatu sistem filsafat, sehingga sila-silanya bukan merupakan bagian yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan sistemik. Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila Pancasila. Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal, digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalam urut-urutan luas (kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhis dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar episte-mologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila (Notonagoro, 1984: 61 dan 1975: 52,57). Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki, dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme dan lain paham filsafat di dunia.

1. Dasar Ontologis Sila-sila Pancasila

Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang menyangkut sila-silanya saja melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila Pancasila atau secara filosofis merupakan dasar onologis sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri atas lima sila setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan , yang berke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusayawarat-an/perwakilan serta yang berkeadilan sosial, pada hakikatnya adalah manusia ( Notonagoro, 1975: 23 ). Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat nega-ra bahwa Pancasila adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri, sehingga tepatlah jikalau dalam filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah manusia.

Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat , raga dan jiwa jasmani dan rokhani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial , serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang lainnya (Notonagoro, 1975 : 53).

Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab adapun negara adalah sebagai akibat.
Sebagai suatu sistem filsafat landasan sila-sila Pancasila itu dalam hal isinya menunjukkan suatu hakikat makna yang bertingkat ( Notonagoro, tanpa tahun : 7 ) , serta ditinjau dari keluasannya memiliki bentuk piramidal. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

“................ sebenarnya ada hubungan sebab dan akibat antara negara pada umumnya dengan manusia karena negara adalah lembaga kemanusiaan, yang diadakan oleh manusia. Adapun Tuhan adalah asal segala sesuatu , termasuk manusia sehingga terdapat hubungan sebab dan akibat pula yang tidak langsung antara negara dengan asal mula segala sesuatu , rakyat adalah jumlah dari manusia-manusia pribadi, sehingga ada hubungan sebab akibat antara negara dengan rakyat, lebih-lebih buat negara kita yang kekuasaannya dengan tegas dinyatakan di tangan rakyat, berasal dari rakyat, sebagaimana tersimpul dalam asas kedaulatan rakyat. Tidak dari satu akan tetapi dari penjelmaan dari pada satu itu, ialah kesatuan rakyat, dapatlah timbul suatu negara, sehingga dengan tidak secara langsung ada juga hubungan sebab dan akibat. Adil adalah dasar dari cita-cita kemerdekaan setiap bangsa, jika sesuatu bangsa tidak merdeka tidak mempunyai negara sendiri itu adalah adil. Jadi hubungan antara negara dengan adil termasuk pula dalam golongan hubungan yang harus ada atau mutlak, dan dalam arti bahwa adil itu dapat dikatakan mengandung unsur pula yang sejenis dengan asas hubungan sebab dan akibat atau termasuk dalam lingkungannya juga sebagai penggerak atau pendorong utama. ( Notonagoro, 1975 : 55,56 ).... selain itu sila keadilan sosial adalah merupakan tujuan dari keempat sila yang mendahuluinya, maka dari itu merupakan tujuan dari bangsa kita dalam bernegara............. “ ( Notonagoro, 1975 : 156 )

Berdasarkan uraian tersebut maka hakikat kesatuan sila-sila Pancasila yang bertingkat dan berbentuk piramidal dapat dijelaskan sebagai berikut :
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut berdasarkan pada hakikat bahwa pendukung pokok negara adalah manusia, karena negara adalah sebagai lembaga hidup bersama sebagai lembaga kemanusiaan dan manusia adalah sebagai makhluk Tuhan yang maha esa , sehingga adanya manusia sebagai akibat adanya Tuhan yang maha esa sebagai kausa prima. Tuhan adalah sebagai asal mula segala sesuatu, adanya Tuhan adalah mutlak, sempurna dan kuasa, tidak berubah, tidak terbatas serta pula sebagai pengatur tata tertib alam (Notonagoro, 1975 : 78 ). Sehingga dengan demikian sila pertama mendasari, meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya.


Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan yang maha esa serta mendasari dan menjiwai sila persatuan Indonesia ,sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : negara adalah lembaga kemanusiaan, yang diadakan oleh manusia (Notonagoro, 1975 : 55 ). Maka manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok negara . Negara adalah dari, oleh dan untuk manusia oleh karena itu terdapat hubungan sebab dan akibat yang langsung antara negara dengan manusia. Adapun manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa sehingga sila kedua didasari dan dijiwai oleh sila pertama. Sila kedua mendasari dan menjiwai sila ketiga (persatuan Indone-sia), sila keempat (kerakyatan) serta sila kelima (keadilan sosial). Pengertian tersebut hakikatnya mengandung makna sebagai berikut : rakyat adalah sebagai unsur pokok negara dan rakyat adalah merupakan totalitas individu-individu yang bersatu yang bertujuan mewujudkan suatu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial). Dengan demikian pada hakikatnya yang bersatu membentuk suatu negara adalah manusia, dan manusia yang bersatu dalam suatu negara adalah disebut rakyat sebagai unsur pokok negara serta terwujudnya keadilan bersama adalah keadilan dalam hidup manusia bersama sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

Sila ketiga persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan yang maha esa dan sila kemanusiaan yang adil dan beradab serta mendasari dan menjiwai sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indone-sia. Hakikat sila ketiga tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut hakikat persatuan didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan dan kemanusiaan , bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa yang pertama harus direali-sasikan adalah mewujudkan suatu persatuan dalam suatu persekutuan hidup yang disebut negara. Maka pada hakikatnya yang bersatu adalah manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa, oleh karena itu persatuan adalah sebagai akibat adanya manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, adapun hasil persatuan di antara individu-individu , pribadi-pribadi dalam suatu wilayah tertentu disebut sebagai rakyat sehingga rakyat adalah merupakan unsur pokok negara. Persekutuan hidup bersama manusia dalam rangka untuk mewujudkan suatu tujuan bersama yaitu keadilan dalam kehidupan bersama (keadilan sosial) sehingga sila ketiga mendasari dan menjiwai sila keempat dan sila kelima Pancasila. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Notonagoro sebagai berikut :
.” .......sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan , meliputi seluruh hidup manusia dan menjadi dasar daripada sila-sila yang lainnya.Akan tetapi sila persatuan atau kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial hanya meliputi sebagian lingkungan hidup manusia sebagai pengkhususan daripada sila kedua dan sila pertama dan mengenai hidup bersama dalam masyarakat bangsa dan negara. Selain itu ketiga sila ini persatuan kerakyatan dan keadilan satu dengan lainnya bersangkut paut dalam arti sila yang di muka menjadi dasar dari pada sila-sila berikutnya dan sebaliknya yang berikutnya merupakan pengkhususan dari pada yang mendahuluinya, hal ini mengingat susunan sila-sila Pancasila yang hierarkis dan berbentuk piramidal............. “ ( Notonagoro , 1957 : 19 ).

Sila keempat adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, makna pokok sila keempat adalah kerakyatan yaitu kesesuaiannya dengan hakikat rakyat. Sila keempat ini didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan dan persatuan. Dalam kaitannya dengan kesatuan yang bertingkat maka hakikat sila keempat itu adalah sebagai berikut , hakikat rakyat adalah penjumlahan manusia-manusia,semua orang, semua warga dalam suatu wilayah negara tertentu. Maka hakikat rakyat adalah sebagai akibat bersatunya manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa dalam suatu wilayah negara tertentu. Maka secara ontologis adanya rakyat adalah ditentukan dan sebagai akibat adanya manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa yang menyatukan diri dalam suatu wilayah negara tertentu. Adapun sila keempat tersebut mendasari dan menjiwai sila keadilan sosial (sila kelima Pancasila). Hal ini mengandung arti bahwa negara adalah demi kesejahteraan warganya atau dengan lain perkataan negara adalah demi kesejahteraan rakyatnya. Maka tujuan dari negara adalah terwujudnya masyarakat yang berkeadilan, terwujudnya keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).

Sila kelima kedilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memiliki makna pokok keadilan yaitu hakikatnya kesesuaian dengan hakikat adil. Berbeda dengan sila-sila lainnya maka sila kelima ini didasari dan dijiwai oleh keempat sila lainnya yaitu : Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan. Hal ini mengandung hakikat makna bahwa keadilan adalah sebagai akibat adanya negara kebangsaan dari manusia-manusia yang berketuhanan yang maha esa. Sila keadilan sosial adalah merupakan tujuan dari keempat sila lainnya. Secara ontologis hakikat keadilan sosial juga ditentukan oleh adanya hakikat keadilan sebagaimana terkandung dalam sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Menurut Notonagoro hakikat keadilan yang terkandung dalam sila kedua yaitu keadilan yang terkandung dalam hakikat manusia monopluralis, yaitu kemanusiaan yang adil terhadap diri sendiri, terhadap sesama dan terhadap Tuhan atau kausa prima. Penjelmaan dari keadilan kemanusiaan mo-nopluralis tersebut dalam bidang kehidupan bersama baik dalam lingkup masyarakat , bangsa, negara dan kehidupan antar bangsa yaitu menyangkut sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yaitu dalam wujud keadilan dalam hidup bersama atau keadilan sosial. Dengan demikian logikanya keadilan sosial didasari dan dijiwai oleh sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab ( Notonagoro, 1975: 140, 141 ).
2. Negara dan Agama

Pendiri negara Indonesia nampaknya menentukan pilihan yang khas dan inovatif tentang bentuk negara dalam hubungannya dengan agama. Dengan melalui pembahasan yang sangat serius disertai dengan komitmen moral yang sangat tinggi sampailah pada suatu pilihan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Mengingat kekhasan unsur-unsur rakyat dan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam etnis, suku, ras agama nampaknya Founding Fathers kita sulit untuk menentukan begitu saja bentuk negara sebagaimana yang ada di dunia.

Negara demokrasi model barat lazimnya bersifat sekuler, dan hal ini tidak dikehendaki oleh segenap elemen bangsa Indonesia. Negara komunis lazimnya bersifat atheis, yang menolak agama dalam suatu negara, sedangkan negara agama akan memiliki konsekuensi kelompok agama tertentu akan menguasai negara dan di Indonesia dalam hal ini Islam. Oleh karena itu negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan pilihan kreatif dan merupakan suatu proses eklektis inkorporatif. Artinya pilihan negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah khas dan nampaknya yang sesuai dengan kondisi objektif bangsa Indonesia. Agus Salim menyatakan bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa adalah merupakan pokok atau dasar dari seluruh sila-sila lainnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pedoman dasar bagi kehidupan kenegaraan yang terdiri atas berbagai elemen bangsa (Salim, 1997). Berdasarkan pandangan Agus Salim tersebut prinsip dasar kehidupan bersama berbagai pemeluk agama dalam suatu negara Republik Indonesia. Dalam kehidupan bersama ini negara maupun semua paham dan aliran agama tidak dibenarkan masuk pada ruang pribadi akidah masing-masing orang.

Demikian pula bilamana kita perhatikan pendapat Mohammad Roem sebagai tokoh Masyumi, sebagai berikut :
Kepercayaan manusia tentang Tuhan Yang Maha Esa, tentang penciptaan bukan bidang untuk campur tangan bagi yang berkuasa, baikpun ia badan eksekutif, maupun ia badan legislatif. Negara yang pada akhirnya dijelmakan oleh orang-orang yang berkuasa, tidak mencampuri penghidupan bathin rakyat sampai sedalam-dalamnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (Roem, 1977: 115).
Kata sepakat tentang dasar negara mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti bahwa masing-masing percaya kepada Tuhan menurut agamanya sendiri-sendiri, dengan kesadaran bahwa bersama kita dapat mendirikan negara yang kuat sentausa karena esensi dari agama, ialah hidup berbakti, menjunjung keadilan, cinta dan kasih sayang terhadap sesama makhluk (Roem, 1977: 116).

Berdasarkan pernyataan para tokoh agama dan negara Indonesia, maka sebenarnya Ketuhanan Yang Maha Esa, sama sekali bukan merupakan suatu prinsip yang memasuki ruang akidah umat beragama melainkan suatu prinsip hidup bersama dalam suatu negara, dari berbagai lapisan masyarakat yang memiliki keyakinan agama yang berbeda-beda. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan manusia yang bermartabat dan berkeadaban.

Oleh karena itu dalam negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, kehidupan agama tidak dipisahkan sama sekali melainkan justru agama mendapatkan legitimasi filosofis, yuridis dan politis dalam negara, hal ini sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Secara filosofis Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung dalam sila pertama Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sehingga sila pertama tersebut sebagai dasar filosofis bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dalam hal hubungan negara dengan agama. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia bukan mengatur ruang akidah umat beragama melainkan mengatur ruang publik warga negara dalam hubungan antar manusia. Sebagai contoh berbagai produk peraturan perundangan dalam hukum positif Islam, misalnya UU RI No. 41 tentang Wakaf, UU RI No. 38 tentang Pengelolaan Zakat, ini mengatur tentang wakaf dan zakat pada domein kemasyarakatan dan kenegaraan.

Dalam toleransi kehidupan antar umat beragama di negara Indonesia dijamin dalam konstitusi negara, yaitu kebebasan beragama dijamin dalam UUD 1945 hasil amandemen pasal 28 E, Ayat (1), ”Setiap orang bebas meeluk agama,dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengejaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara, dan meninggalkannya dan berhak kembali”; Ayat (2) ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakinikepercayaannya, menyatakan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Dan Pasal 29 Ayat (2), ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Toleransi dalam kehidupan umat beragama di negeri ini, nampaknya pandangan para tokoh pendiri Republik ini senada dengan Piagam Madinah pasal 25 dan pasal 37, bahwa umat muslim hidup secara damai dengan umat agama lainnya dan menciptakan perdamaian (mu’ahad) (Rachman, 2000).


Secara filosofis relasi ideal antara negara dengan agama, prinsip dasar negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga negara bebas berkeyakinan atau memeluk agama sesua dengan keyakinan dan kepercayaannya. Kebebasan dalam pengertian ini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada domain privat atau pada tingkat individu. Dapat juga dikatakan bahwa agama perupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara dalam hubungan ini cukup menjamin secara yuridis dan memfasilitasi agar warga negara dapat menjalakan agama dan beribadah dengan rasa aman, tenteram dan damai. Akan tetapi bagaimanapun juga manusia membentuk negara tetap harus ada regulasi negara khususnya dalam kehidupan beragama. Regulasi tersebut diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara. Regulasi tersebut berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order), etik dan moral masyarakat (moral public), kesehatan masyarakat (public healt) dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental right and freedom orders) (Shofan, 2008). Regulasi yang dilakukan oleh negara terhadap kebebasan warga negara dalam memeluk agama, nampaknya masih memerlukan pengembangan lebih lanjut. Misalnya dalam KUHAP, hanya dimuat dalam beberapa pasal saja misalnya Pasal 156 yang mengatur tentang kebencian dan penghinaan pada suatu agama, Pasal 156a tentang penodaan agama, Pasal 175 merintangi dengan kekerasan upacara keagamaan, Pasal 176 tentang mengganggu pertemuan keagamaan.

Secara yuridis Ketuhanan Yang Maha Esa tercantum dalam sila pertama dan terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam ilmu hukum kedudukan Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terkandung nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia. Dalam pengertian ini Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip konstitutif maupun regulatif bagi tertib hukum Indonesia, sehingga merupakan suatu pangkal tolak derivasi bagi tertib hukum Indonesia serta hukum positif yang berada di bawahnya.

Dalam suatu pelaksanaan kenegaraan suatu piranti yang harus dipenuhi demi tercapainya hak dan kewajiban warga negara, maupun negara adalah perangkat hukum sebagai hasil derivasi dari dasar filsafat negara Pancasila. Dalam hubungan ini agar hukum dapat berfungsi dengan baik sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, maka hukum seharusnya senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan dan dinamika aspirasi masyarakat. Oleh karena itu hukum harus senantiasa diperbaharui, agar hukum bersifat aktual dinamis sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat. Dalam hubungan ini Pancasila merupakan suatu sumber nilai bagi pembaharuan hukum yaitu sebagai suatu “cita-cita hukum”, yang berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia. Sebagai suatu cita-cita hukum Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi konstitutif Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi regulatif-nya Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang adil atau tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum Indonesia termasuk Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945 (Mahfud, 1999: 59).

Dalam filsafat hukum suatu sumber hukum meliputi dua macam pengertian, yaitu (1) sumber formal hukum, yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum yang mengikat terhadap komunitasnya, dan (2) sumber material hukum, yaitu sumber hukum yang menentukan materi atau isi suatu norma hukum. Sumber material hukum ini dapat berupa nilai-nilai misalnya nilai kemanusiaan, nilai ketuhanan, nilai keadilan dan dapat pula berupa fakta yaitu realitas perkembangan masyarakat, dinamika aspirasi masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya (Darmodiharjo, 1996: 206). Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum moral, nilai hukum kodrat, dan nilai hukum Tuhan merupakan suatu sumber hukum material bagi hukum positif Indonesia. Dengan demikian Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tersusun secara hierarkhis. Dalam susunan yang hierarkhis ini Pancasila menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi di antara berbagai peraturan perundang-undangan secara vertikal maupun horisontal. Hal ini mengandung suatu konsekuensi jikalau terjadi ketidakserasian atau pertentangan norma hukum yang satu dengan lainnya yang secara hierarkhis lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila sebagai sumbernya, maka hal ini berarti jika terjadi ketidak sesuaian maka hal ini berarti terjadi suatu inkonstitusionalitas (unconstitutionality) dan ketidaklegalan (illegality), dan oleh karenanya maka norma hukum yang lebih rendah itu batal demi hukum (Mahfud, 1999: 59).
Konsekuensinya dalam filsafat hukum nilai-nilai hukum Tuhan bersama-sama dengan nilai hukum kodrat, hukum etis dan filosofis merupakan sumber hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu seharusnya hukum di Indonesia memiliki sumber dasar moral yang berpangkal pada nilai-nilai Ketuhanan. Berdasarkan analisis filosofis tersebut, maka sebenarnya sudah tidak ada masalah lagi terhadap Pancasila sebagai dasar filsafat negara dalam kaitannya dengan kehidupan dan eksistensi agama di negara Indonesia yang tercinta ini. Pancasila bukanlah agama, karena Pancasila dirumuskan berdasarkan kausa materialis nilai-nilai agama, sehingga antara Pancasila dengan agama sebenarnya memiliki hubungan kausalitas.

Kesimpulan
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa di dunia nampaknya ditakdirkan memiliki karakteristik, baik dalam konteks geopolitiknya maupun struktur sosial budayanya, yang berbeda dengan bangsa lain di dunia ini. Oleh karena itu para founding fathers Republik ini memilih dan merumuskan suatu dasar filosofi, suatu kalimatun sawa yang secara objektif sesuai dengan realitas bangsa ini, yaitu suatu dasar filsafat bangsa dan negara Indonesia yang sila pertamanya berbunyi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, di tengah-tengah negara ateis, sekuler serta negara teokrasi. Perumusan dasar filosofi negara ini dalam suatu proses yang cukup panjang dalam sejarah. Negara Indonesia dengan dasar filosofi ’Ketuhanan Yang Maha Esa’ memiliki ciri khas jika dibandingkan dengan tipe negara ateis dan negara sekuler. Oleh karena itu dalam negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, kehidupan agama tidak dipisahkan sama sekali melainkan justru agama mendapatkan legitimasi filosofis, yuridis dan politis dalam negara, hal ini sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Secara filosofis Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung dalam sila pertama Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sehingga sila pertama tersebut sebagai dasar filosofis bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dalam hal hubungan negara dengan agama. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia bukan mengatur ruang akidah umat beragama melainkan mengatur ruang publik warga negara dalam hubungan antar manusia. Sebagai contoh berbagai produk peraturan perundangan dalam hukum positif Islam, misalnya UU RI No. 41 tentang Wakaf, UU RI No. 38 tentang Pengelolaan Zakat, ini mengatur tentang wakaf dan zakat pada domein kemasyarakatan dan kenegaraan.
Secara filosofis relasi ideal antara negara dengan agama, prinsip dasar negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga negara bebas berkeyakinan atau memeluk agama sesua dengan keyakinan dan kepercayaannya. Kebebasan dalam pengertian ini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada domain privat atau pada tingkat individu. Dapat juga dikatakan bahwa agama perupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara dalam hubungan ini cukup menjamin secara yuridis dan memfasilitasi agar warga negara dapat menjalakan agama dan beribadah dengan rasa aman, tenteram dan damai. Akan tetapi bagaimanapun juga manusia membentuk negara tetap harus ada regulasi negara khususnya dalam kehidupan beragama. Regulasi tersebut diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara. Regulasi tersebut berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order), etik dan moral masyarakat (moral public), kesehatan masyarakat (public healt) dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental right and freedom orders). Regulasi yang dilakukan oleh negara terhadap kebebasan warga negara dalam memeluk agama, nampaknya masih memerlukan pengembangan lebih lanjut. Misalnya dalam KUHAP, hanya dimuat dalam beberapa pasal saja misalnya Pasal 156 yang mengatur tentang kebencian dan penghinaan pada suatu agama, Pasal 156a tentang penodaan agama, Pasal 175 merintangi dengan kekerasan upacara keagamaan, Pasal 176 tentang mengganggu pertemuan keagamaan.

Yogyakarta, 1 Juni 2009

Prof. Dr. Kaelan, M.S.















DAFTAR PUSTAKA

Abdoelgani, Roeslan, dalam Kusuma Erwin dan Khairul (ed.), 2008, Pancasila dan Islam, Baur Publishing, Jakarta.
Andrews, W.G., 1968, Constitutions and Constitutionalism, Van Nostrand Company, New Jersey.
Asshiddiqie, J., 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Prss, Jakarta.
Asshiddiqie, J., 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Konstitusi Press, Jakarta.
Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa : Local Genius, Pustaka Jaya, Jakarta.
Bahmueller, C.F. 1996, Principles and Practies of Education for Democratic Citizenship: International Perspectives and Projects, Eric Adjunct Clearinghouse for International Civic Education, USA.
Beck, Ulrich, 1996, Kapitalismus Ohne Arbeit, Frankfrut.
Berkes, Niyazi, 1964, The Development of Seculerism in Turkey, Mc. Gill University Press.
Chaidar, Al, 1998, Reformasi Prematur : Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total, Darul Falah, Jakarta
Darmodiharjo, Darji, 1996, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, jakarta.
Fukuyama, F., 1989, “The End of History”, dalam National Interest, No. 16 (1989), dikutip dari Modernity and Its Future, h. 48, Polity Press, Cambridge.
Fukuyama, F., 2004, State Building: Governance and the World Order in the 21 Century, NY: Cornell University Press, Ithaca.
Giddens, A., 1995, The Consequences of Modernity, Polity Press, Cambridge. dalam Modernity and Its Future, h. 48, Polity Press, Cambridge.
Ghazali Abd. Moqsith, 2009, Argumen Pluralisme Agama, Kata Kita, Jakarta.
Hall, Stuart, David Held and Tony Mc. Grew, (ed.), 1990, Modernity and Its Future, Polity Press, Cambridge.
Hantington, Samuel P., 1993, The Clash of Civilization, Foreign Affairs, Edisi Summer.
Hendropriyono, A.M., 2007, Nation State di Masa Teror, Penerbit Rumah Kata, Semarang.
Imarah, Muhammad, 1988, Al Islam wa Uslul al-Hukm Li Ali Abd al-Raziq, edisi ke 2, al-Mu’assasah al-Arabiyah li al-Dirasat wa al-Nashr, Beirut.
Ismail, Faisal, 1999, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Kaelan, 2004, Tantangan Dalam Revitalisasi Nilai-nilai Luhur Universitas Gadjah Mada, Makalah yang disajikan dalam Seminar Ravitalisasi Nilai-nilai Luhur Universitas Gadjah Mada, yang diselenggarakan oleh Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Kaelan, M.S., 2002, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa, Paradigma, Yogyakarta.
Kaelan, M.S.,2004, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
Kaelan, M.S., 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
Kaelan, M.S., 2007, Kesesatan Epistemologis di Era Reformasi dan Revitalisasi Nation State, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Filsafat Universita Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kusuma Erwin dan Khairul, 2008, Pancasila dan Islam, Baur Publishing, Jakarta.
Khurshid, Ahmad, 1990, Islamic Law and Constitution, Islamic Publication, Lahore.
Mahfud, M.D., 1999, “Pancasila sebagai Paradigma Pembaharuan Hukum”, dalam Jurnal Filsafat Pancasila, Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Muhtaj E., 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indone-sia, Prenada Media, Jakarta.
Notonagoro, 1975, Pancasila Ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh, Jakarta.
Ohmae, Kenichi, 1995, The End of Nation State: The Rise of Regional Economics, The Free Press, London.
Usman, Ali, 2008, Esai-Esai Menegakkan Pluralisme, LSAF Lembaga Sudi Agama dan Filsafat, Yogyakarta.
Poespowardoyo, Soeryanto, dalam Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa: Local Genius, Pustaka Jaya, Jakarta.
Robertson, 1990, “Mapping the Global Condition: Globalization as the Central Concept”, dalam Global Culture, Nationalism, Globalisation and Modernity, Mike Feterstone (ed.), Sage Publications, London.
Rachaman, Fazlur, 2000, Islam, Penerbit Pustaka, Bandung.
Rosenau, 1990, dalam Hall, Stuart, David Held and Tony Mc. Grew, (ed.), Modernity and Its Future, Polity Press, Cambridge.
Roem, Mohammad, dan Agus Salim, 1977, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Lahirnya Pancasila, Bulan Bintang, Jakarta.
Ryle, Gilbert, 1983, The Concept of Mind, Penguin Books, Middlesex.
Sastrapratedja, M., 1996, Pancasila dan Globalisasi, dalam Seminar Nasional Pendidikan Pancasila, diselenggarakan atas kerjasama Forum Komunikasi Dosen Pancasila (FKDP) Propinsi Jawa Tengah dengan Universitas Tidar Magelang, Magelang 29-31 Juli 1996.
Thalib, Muhammad dan Irfan S. Awwas (ed.), Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila : Menguak Tabir Pemikiran Founding Fathers Republik Indonesia, Wihdah Press, Yogyakarta.
Winataputra, U.S., 2005, Demokrasi Indonesia, Makalah disampaikan pada Kursus Calon Dosen-dosen Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi se Indonesia, Jakarta.